KUBURKAN MENTALITAS BERAGAMA ALA FARISI



Matius 20:1-16

Di suatu jemaat adalah seorang Bapak yang sudah cukup tua, yang sejak masa mudanya terkenal sangat rajin beribadah. Jarang alpa beribadah. Biasanya ia datang lebih cepat dari yang lain bila ibadah pada hari minggu ke Gereja, dan duduk paling depan. Pada suatu Ibadah perayaan Natal tahun itu, Panitia mengadakan acara tambahan semacam acara unik, memberikan hadiah kepada warga jemaat yang dianggap memenuhi kriteria seperti yang disepakati oleh Panitia. Bertepatan pada tahun itu secara diam-diam panitia sepakat akan memberikan hadiah berupa lencana kepada warga Jemaat yang dianggap paling rajin beribadah sepanjang tahun itu dari januari hingga Desember.

Acara demi acara telah berlangsung. Dan tibalah acara kejutan yang tak diduga-duga oleh warga Jemaat. Sang pembawa acara meminta ijin sebentar sebelum acara perayaan ditutup: "Saudara-saudara, sebelum kita menutup acara ini, kami dari Panitia meminta waktu sebentar untuk mengumumkan pemenang yang akan menerima lencana dari panitia. Untuk tahun ini, yang berhak menerima lencana adalah warga jemaat yang dianggap paling rajin beribadah sepanjang tahun ini...." Semua warga jemaat tertegun seketika, sambil memandang kiri-kanan, saling tengok sana sini, siapa kira-kira gerangan yang berhak menerima lencana yang dimaksud.

Pembawa acara melanjutkan pembicaraan: "Untuk tahun ini, berdasarkan kesepakatan Panitia, lencana ini akan diberikan kepada Bapak "Anu"! (namanya disebutkan oleh Panitia). Benar saja, Bapak yang terkenal rajin beribadah ini dipanggil namanya dan diminta maju ke depan untuk disematkan lencana oleh Panitia. Tepuk tangan meriah gegap gempita memecah keheningan sebelumnya karena telah diketahui siapa sang penerima lencana. lencana pun disematkan oleh Panitia. Di penghujung acara, panitia berpesan bahwa kerajinan Bapak ini beribadah perlu diteladani oleh warga jemaat lainnya.

Kisah tentang lencana yang diterima oleh Bapak ini semakin menarik saja. Menjadi buah bibir warga jemaat. Pasalnya pada ibadah minggu berikutnya Bapak ini tetap mengenakan lencana yang disematkan di dada. Bukan hanya pada minggu itu saja, tetapi pada minggu berikutnya dan berikutnya selalu mengenakan lencana. Dia terlihat semakin GR (Gede Rasa) dengan lencana yang ada. Sayangnya, ketika kerja bakti membersihkan parit keliling gereja, bapak ini tak ada. Demikian pun ketika pengumpulan uang untuk mengganti atap Gereja yang bocor, bapak ini tak terlibat di dalamnya. Tapi bila soal kehadiran beribadah, bapak ini jagonya. Panitia (walau telah dibubarkan) bersama dengan Majelis yang ada cukup risih dengan sikap Bapak ini terhadap warga jemaat lainnya.

Akhirnya Majelis melakukan Rapat Darurat, mengambil kesimpulan untuk melepaskan lencana yang telah dikenakan. Apa dinyana, pada ibadah minggu entah untuk kali yang keberapa, kembali Bapak ini beribadah dengan mengenakan lencana. Setelah ibadah usai, Bapak ini dipanggil oleh Majelis ke Konsisitori. Salah seorang Majelis yang dipercayakan angkat bicara: "Sebelumnya kami mohon maaf yang sebar-besarnya kepada Bapak, berdasarkan pengamatan, pertimbnangan, dan kesepakan kami para Majelis, dengan sangat terpaksa kami akan melepaskan lencana yang Bapak kenakan. Ini terpaksa kami lakukan, karena Bapak terlalu membanggakan lencana yang dikenakan". Acara pelepasan lencana pun dilaksanakan.

Saudara, mentalitas beragama ala Farisi adalah sikap orang beragama yang sombong rohani. Merasa diri suci sempurna beragama melebihi orang lain atas dasar perbuatan amal saleh yang telah dilaksanakan. Sorga adalah pahala berdasarkan perbuatan, sedangkan orang lain hanya dilihat sebagai pendosa para calon penghuni neraka yang akan binasa! Iman Kristen mengajarkan, bahwa kita diselamatkan semata-mata hanya karena anugerah Allah. Sebanyak apa pun amal, perbuatan baik, tidak akan pernah cukup untuk meraih pintu sorgaNya di atas sana. Di hadapan Allah, tidak ada satu pun yang dapat kita banggakan. Di hadapan Allah kita adalah sama-sama para pendosa, yang hanya mengharapkan belas kasihanNya!

Ketika membaca bagian perikop perumpamaan dalam nas ini, maka biasanya rata-rata kesan yang didapatkan, yaitu tentang ketidakadilan! Masa yang kerja satu hari penuh sama upahnya dengan yang kerja hanya sembilan jam, enam jam, atau dengan yang satu jam? Bila kurang cermat memahaminya bisa jadi mendapat kesan demikian. Tetapi titik sentral permasalahan sesungguhnya bukanlah soal upah atau soal jam kerja segala macam. Tetapi penjelasan tentang kemurahan Allah, seperti pada ayat kunci: “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (ay.15).

Perumpamaan ini mengandung kritik tajam terselindung kepada orang-orang yang merasa dirinya mapan beragama. Yang merasa bangga akan tingkat kesucian rohani dan menganggap diri telah melaksanakan aturan agama secara sempuna berdasarkan apa yang telah ditentukan. Celakanya, bila jumlah beribadah, segala jasa, perbuatan baik, pengabdian, lalu menjadi perhitungan? Padahal, seperti dalam perumpamaan, sang pemilik kebun anggur sendiri yang berinisiatif mencari dan memanggil setiap orang untuk dipekerjakan di kebun anggurnya. Tanpa sang pemilik kebun anggur berinisiatif, tak satu pun mereka mendapatkan upah apa-apa! (ay.1-7).

Saudara, mentalitas beragama ala Farisi perlu dikuburkan! Sejatinya, bukan berapa lama orang menjadi kristen yang paling menetukan, atau kesalehan rohani tingkat berapa yang menjadi ukuran.Tetapi pertobatan, perubahan sikap, hati yang menyembah, kehidupan iman yang berbuah dan tahu arti berterimakasih kepada Allah! Karena itulah yang akan menetukan, “….. yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.” (ay.16). Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERDIK SEPERTI ULAR TULUS SEPERTI MERPATI

RUT: TELADAN KESETIAAN